Jakarta – Jelang peringatan G30S/PKI, pengamat intelijen dan terorisme Ridlwan Habib mengingatkan potensi munculnya polarisasi politik yang bisa memicu instabilitas nasional. Ia menilai, meskipun Indonesia tengah berusaha pulih pasca gelombang demonstrasi besar yang sempat menimbulkan kerusuhan, masih ada potensi kerawanan sosial yang perlu diantisipasi secara serius oleh aparat keamanan dan seluruh elemen bangsa.
Ridlwan menilai, pemulihan pasca-kerusuhan harus dilakukan secara menyeluruh, bukan sekadar simbolik. Ia juga menyoroti fenomena narasi “eat the rich” yang kian marak di media sosial, terutama di kalangan generasi muda di platform X, TikTok, dan Instagram.
“Fenomena ini berbahaya karena bisa memicu segregasi sosial dan perbenturan kelas. Narasi itu sering dikaitkan dengan kehidupan glamor anak pejabat di tengah kondisi ekonomi sulit. Dikhawatirkan opini masyarakat bergeser ke arah stigma bahwa semua orang kaya adalah pihak yang jahat dan tidak sejalan dengan norma Pancasila,” jelasnya.
Pencarian kata “eat the rich” di platform X memperlihatkan pro-kontra dengan nada keras, bahkan ada akun anonim yang memprovokasi agar masyarakat meniru kerusuhan di Nepal. “Kondisi ini rawan dimanfaatkan pihak-pihak yang ingin merusak soliditas bangsa, apalagi menjelang momentum G30S,” tambah Ridlwan.
Menurutnya, meski masyarakat Indonesia memiliki tradisi toleransi yang kuat, media sosial bisa menjadi bumerang jika tidak terkendali. Karena itu, ia menekankan perlunya deteksi dini dan kewaspadaan aparat. Pemerintah, tokoh masyarakat, serta elemen bangsa didorong untuk aktif membangun komunikasi dengan generasi muda.
“Presiden Prabowo sebelumnya sudah menggandeng sejumlah tokoh senior melalui Gerakan Nurani Bangsa. Namun diperlukan pula middleman, penghubung yang bisa menjembatani komunikasi dengan generasi Z. Ini penting agar anak muda tidak terseret pada ide-ide ekstrem,” ungkapnya.
Ia menambahkan, relevansi isu komunisme klasik kini sudah berubah. Komunisme sebagai organisasi memang tidak ada lagi di Indonesia, tetapi generasi muda justru terpengaruh oleh ide kiri liberal atau anarko-sindikalis. Konsep anarki yang menolak sistem hukum dan otoritas formal, menurutnya, cukup menarik minat anak muda hingga membentuk kelompok diskusi bahkan ikut dalam aksi demonstrasi.
“Komunisme dalam bentuk organisasi tidak ada, tapi ide-ide liar ini harus dicermati. Kementerian Dalam Negeri memiliki jaringan Forum Kewaspadaan Dini di seluruh provinsi. Jika diaktifkan menjelang 30 September, forum itu bisa efektif meredam potensi gejolak di daerah,” jelasnya.
Ia juga menilai, sebagian kalangan melihat demonstrasi sebelumnya sebagai upaya mendelegitimasi pemerintahan Presiden Prabowo. Presiden sendiri, kata Ridlwan, sudah mengungkap adanya indikasi makar dan terorisme. “Dalam arti modern, terorisme adalah upaya menimbulkan ketakutan dengan motif politik. Sedangkan makar bertujuan menciptakan instabilitas dan mengganggu jalannya pemerintahan,” tegasnya.
Untuk pencegahan, Ridlwan mendorong penerapan pendekatan pentahelix. Artinya, penanganan tidak hanya dibebankan pada aparat, tetapi juga melibatkan keluarga, kementerian terkait, serta masyarakat sipil. “Keluarga memiliki peran vital mengawasi anak-anak, terutama remaja. Kementerian Ekonomi, Keuangan, dan Sosial juga harus berkolaborasi. Penanganan harus lintas sektor, bukan satu pihak saja,” pungkasnya.
Dengan kewaspadaan bersama, ia optimistis potensi polarisasi menjelang peringatan G30S/PKI dapat diredam sehingga bangsa tetap solid menghadapi berbagai tantangan. (*)