Oleh: Citra Kurnia Khudori)*
Kasus dugaan keracunan yang dialami siswa akibat dari produk Makan Bergizi Gratis (MBG) terus terjadi di sejumlah daerah. Pemerintah langsung melakukan evaluasi terhadap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang merupakan pusat dapur dan operasionalnya.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana meminta SPPG untuk segera memperbaiki pola memasak. Hasil keterangan menunjukkan adanya kesalahan teknis dari SPPG, seperti memasak terlalu awal, sehingga makanan tersimpan terlalu lama sebelum dikonsumsi.
Setelah indikasi awal penyebab keracunan diketahui, BGN langsung melakukan koordinasi dengan seluruh SPPG dan meminta agar jarak proses memasak dan distribusi makanan tidak lebih dari empat jam. Harapannya, seluruh SPPG dapat menaati aturan tersebut mengingat keselamatan seluruh penerima manfaat MBG menjadi tanggung jawab pemerintah.
Kemudian BGN juga menyampaikan, melalui Kepala Biro Hukum dan Humas BGN, Khairul Hidayati bahwa insiden keracunan menjadi perhatian serius pemerintah. BGN berkomitmen untuk memperkuat pemantauan dan pengawasan agar makanan yang diterima oleh masyarakat memang makanan yang sehat, layak, bergizi seimbang, dan aman.
BGN telah memiliki prosedur serta aturan ketat terkait keamanan pangan dalam tata kelola program MBG, termasuk pedoman bagi SPPG di lapangan. Sistem pelaporan juga telah diterapkan untuk memperkuat pengawasan dan pengendalian kendala di lapangan.
Terkait dengan higienitas, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendorong SPPG untuk memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait Keamanan Pangan dalam menjalankan program MBG. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) M. Qodari menyebutkan, data per September 2025, pada 1.379 SPPG ada sebanyak 413 yang memiliki SOP Keamanan pangan dan 312 SPPG yang telah menjalankan sesuai SOP.
Temuan itu juga menjadi titik terang dalam penyelesaian masalah di setiap rangkaian peristiwa keracunan yang terjadi. Qodari menegaskan, SPPG wajib memiliki dan menjalankan SOP tersebut.
Di samping itu, lanjut Qodari, Kemenkes memiliki Sertifikasi Laik Higiene dan Sanitasi (SLHS) sebagai bukti tertulis untuk pemenuhan standar baku mutu dan persyaratan keamanan pangan olahan dan pangan siap saji. Namun sayangnya, temuan Kemenkes menunjukkan kepemilikan SLHS oleh SPPG masih sangat minim.
Qodari mengungkapkan, dari 8.583 SPPG per 22 September baru ada 34 SPPG yang sudah memiliki SLHS. Artinya, masih ada 8.549 SPPG lagi yang perlu memenuhi syarat kepemilikan SLHS.
Tindak lanjut pemerintah untuk memastikan keamanan dan higienitas produk MBG menandakan bahwa pemerintah serius memperbaiki program andalan Presiden Prabowo Subianto tersebut. Pemerintah masih meyakini bahwa program MBG akan membawa dampak yang besar untuk generasi bangsa ke depannya.
Sejak awal, program MBG dirancang dengan fokus utama pada aspek gizi dan keamanan pangan. Makanan yang disediakan harus memenuhi standar kalori dan gizi seimbang. Tak kalah penting, aspek higienitas dan keamanan pangan menjadi perhatian serius dalam proses penyediaan makanan.
Pemerintah menyadari bahwa pemenuhan gizi yang baik sejak dini akan sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Makanan bergizi akan mendukung perkembangan kognitif dan fisik anak secara optimal. Secara tidak langsung, program ini juga akan turut memberikan dampak pada penurunan angka stunting dan masalah gizi lainnya. Hal itu sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia menuju Generasi Emas 2045.
Generasi Emas 2045 diharapkan menjadi agen perubahan yang cerdas, sehat, dan kompetitif baik di level nasional maupun global. Sehingga program MBG tidak bisa dilihat hanya sebatas “memberi makan secara gratis”, melainkan investasi jangka panjang bagi masa depan bangsa.
Adanya kasus keracunan bukan berarti program harus dihentikan. Pemerintah hanya perlu fokus pada perbaikan akar masalah penyebab keracunan tersebut. SPPG harus diawasi lebih ketat.
Direktur Literatur Institut Asran Siara menegaskan, pemilik SPPG tidak boleh mengutamakan kepentingan bisnis dengan mengabaikan kesehatan dan kebersihan makanan. Aspek kesehatan dan kebersihan harus menjadi prioritas utama SPPG.
Menurut Asran, kesuksesan program MBG bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga dapat mengambil peran dalam pengawasan.
Ia menjelaskan, masyarakat berperan besar memastikan program berjalan lancar. Misalnya, dapur MBG dijaga oleh masyarakat secara bergotong-royong atau bergiliran untuk memastikan makanan diolah sesuai dengan ketentuan.
Masyarakat juga dapat melaporkan bila terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan prosedur. Sehingga edukasi terhadap masyarakat terkait program MBG bukan hanya sekedar pada proses distribusi dan konsumsi, tetapi juga proses produksinya.
Asran melanjutkan, aspek transparansi, pengawasan, serta partisipasi aktif warga dinilai krusial demi memastikan program dapat berjalan efektif dan mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian, di samping komitmen pemerintah untuk menjaga higienitas dan keamanan MBG, partisipasi aktif masyarakat juga diperlukan dalam melakukan pengawasan langsung di lapangan. Harapannya, kontrol terhadap kualitas pangan MBG semakin meningkat dan tidak ada lagi kasus keracunan yang merugikan anak-anak bangsa.
)* Penulis merupakan Pemerhati Isu Sosial-Ekonomi