Oleh : Yohanes Wandikbo )*
Tragedi kemanusiaan yang terjadi di Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan, kembali menyayat nurani bangsa. Seorang guru, Melani Wamea, menjadi korban kebiadaban kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang diduga merupakan bagian dari Organisasi Papua Merdeka (OPM). Peristiwa yang terjadi di Kampung Holuwon ini bukan sekadar tindakan kekerasan, melainkan bentuk nyata teror terhadap cita-cita perdamaian dan masa depan generasi Papua. Seorang pendidik yang mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan anak bangsa justru harus meregang nyawa di tangan mereka yang mengaku memperjuangkan Papua.
Kekerasan terhadap tenaga pendidik adalah bentuk penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia. Dalam konteks Papua, guru bukan hanya pengajar, melainkan simbol harapan, penggerak literasi, dan pilar utama dalam membangun masa depan generasi muda. Tindakan keji terhadap seorang guru berarti menutup satu pintu masa depan bagi anak-anak Papua yang haus ilmu dan kasih sayang. Negara tentu tidak akan tinggal diam melihat tragedi seperti ini terus berulang.
Kepala Polres Yahukimo, AKBP Zeth Zalino, menegaskan bahwa pihaknya segera melakukan penyelidikan intensif untuk mengungkap para pelaku penyerangan. Langkah cepat ini menunjukkan bahwa negara hadir dan tidak akan membiarkan tindakan biadab semacam ini dibiarkan tanpa keadilan. Proses evakuasi yang dilakukan aparat bersama masyarakat dengan risiko tinggi juga membuktikan adanya solidaritas dan kemanusiaan di tengah ancaman yang masih mengintai. Pengabdian aparat di lapangan menjadi bukti bahwa Papua bukanlah medan perpecahan, melainkan wilayah yang terus dijaga dengan kasih dan dedikasi untuk kedamaian.
Peristiwa tragis ini memperlihatkan bagaimana OPM dan simpatisannya terus menggunakan kekerasan sebagai alat politik yang tidak hanya menghancurkan tatanan sosial, tetapi juga merusak nilai kemanusiaan universal. Mereka bukan lagi memperjuangkan identitas, melainkan menanamkan ketakutan dan kematian. Serangan terhadap guru, tenaga medis, maupun warga sipil tidak bisa disebut perjuangan; itu adalah terorisme dalam wujud paling telanjang. Negara, melalui pendekatan keamanan dan pembangunan, wajib menegakkan hukum dengan tegas untuk menutup ruang gerak bagi kelompok-kelompok separatis bersenjata yang merusak Papua dari dalam.
Sekretaris Jenderal DPP Barisan Muda Papua Republik Indonesia (BMP RI), Ali Kabiay dengan tegas mengecam aksi tersebut. Ia menilai bahwa tindakan KKB tidak hanya melanggar hukum nasional, tetapi juga bertentangan dengan Konvensi Jenewa yang menjamin perlindungan terhadap warga sipil dan tenaga pendidik di wilayah konflik. Suara Ali adalah representasi dari hati nurani anak-anak Papua yang mencintai kedamaian. Ia menegaskan bahwa kekerasan terhadap guru adalah bentuk penghancuran masa depan Papua, karena pendidikan adalah jalan utama menuju kemandirian dan kesejahteraan.
Seruan Ali Kabiay agar pemerintah mengambil langkah tegas sekaligus melibatkan lembaga internasional patut diapresiasi. Dunia perlu mengetahui bahwa kekerasan yang dilakukan OPM bukan perjuangan ideologis, tetapi kejahatan kemanusiaan yang menimpa rakyat Papua sendiri. Dengan terus menyerang tenaga pendidik, kesehatan, dan infrastruktur publik, kelompok ini secara sistematis menghambat pembangunan dan memperpanjang penderitaan masyarakat yang mereka klaim bela. Dalam konteks ini, solidaritas nasional dan internasional harus diarahkan untuk mendukung penegakan hukum dan pemulihan perdamaian di Tanah Papua.
Kekerasan semacam ini juga menjadi ujian bagi masyarakat Papua sendiri untuk menunjukkan keberpihakan mereka terhadap perdamaian. Dukungan tokoh adat, tokoh agama, dan pemuda sangat dibutuhkan agar narasi persatuan lebih kuat daripada propaganda separatis. Selama ini, berbagai komunitas di Papua telah menunjukkan komitmen luar biasa dalam menjaga kedamaian melalui pendekatan dialog dan gotong royong. Kini, semangat itu perlu diperkuat untuk menolak segala bentuk intimidasi dan ancaman dari OPM yang berusaha mengacaukan tatanan sosial yang damai.
Pemerintah Indonesia telah berulang kali menegaskan bahwa pembangunan di Papua dilakukan dengan pendekatan humanis dan berorientasi kesejahteraan. Peningkatan akses pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pemberdayaan ekonomi lokal menjadi prioritas yang terus diperkuat di bawah kepemimpinan nasional. Namun, setiap langkah pembangunan kerap dihadang oleh tindakan destruktif kelompok bersenjata. Serangan terhadap guru di Yahukimo adalah bukti bahwa kelompok ini tidak menginginkan kemajuan, karena kemajuan berarti hilangnya alasan mereka untuk menebar kebencian.
Tragedi ini seharusnya menjadi momentum bagi seluruh bangsa untuk bersatu menegaskan bahwa Papua adalah bagian sah dari Republik Indonesia yang tidak dapat diganggu gugat. Tidak ada ruang bagi ide separatis dalam negara yang dibangun di atas semangat persatuan dan gotong royong. Aparat keamanan harus diberikan mandat penuh untuk menindak para pelaku dengan tegas dan terukur, tanpa kompromi terhadap siapa pun yang menodai nilai kemanusiaan dan merusak ketertiban publik.
Selain tindakan hukum, penting pula memastikan perlindungan bagi para tenaga pendidik yang mengabdi di daerah rawan. Pemerintah pusat dan daerah perlu memperkuat sistem keamanan berbasis komunitas dengan melibatkan masyarakat lokal dan tokoh adat. Setiap guru, tenaga medis, dan pelayan publik yang bertugas di Papua harus dijaga dengan optimal, karena mereka adalah simbol kehadiran negara di garda terdepan.
Kematian Melani Wamea adalah duka seluruh bangsa, bukan hanya bagi Papua. Ia adalah lambang keberanian dan pengorbanan seorang pendidik yang rela mengabdikan hidupnya untuk masa depan anak-anak di wilayah terpencil. Bangsa Indonesia tidak boleh tunduk pada teror. Negara harus terus hadir, memperkuat perdamaian, dan memastikan bahwa setiap tetes darah yang tumpah di Papua menjadi alasan untuk memperjuangkan kemanusiaan, bukan kebencian.
Papua tidak butuh senjata, tetapi ilmu dan kasih sayang. Tragedi di Yahukimo menjadi pengingat bahwa kekerasan hanya melahirkan luka, sedangkan pendidikan melahirkan harapan. Karena itu, menghentikan kekerasan OPM bukan sekadar tindakan keamanan, tetapi tanggung jawab moral untuk menjaga masa depan generasi Papua dan keutuhan bangsa Indonesia.