Oleh: Maria Wonda *)
Tragedi penembakan dua pekerja bangunan gereja di Kampung Air Garam, Distrik Asotipo, Jayawijaya, menjadi pengingat bahwa perdamaian dan keamanan di Papua bukan hanya tanggung jawab aparat, tetapi memerlukan komitmen dari seluruh elemen bangsa, termasuk masyarakat sipil dan institusi keagamaan. Korban, Saepudin dan Rahmat Hidayat, merupakan tukang bangunan asal Purwakarta yang tengah membantu pembangunan Gedung Gereja GKI Imanuel Air Garam. Mereka tewas ditembak orang OPM saat sedang berada di area proyek gereja. Peristiwa ini tidak hanya menorehkan duka, tetapi juga mengusik rasa aman di lingkungan yang semestinya menjadi simbol kedamaian dan perlindungan bagi seluruh umat.
Ketua Klasis GKI Baliem Yalimo, Pdt. Eduard Su, menyampaikan kekecewaannya atas insiden tersebut. Menurutnya, selama ini belum pernah ada insiden kekerasan yang terjadi di lingkungan gereja dan jemaat GKI Air Garam. Peristiwa ini menjadi yang pertama, sehingga pemerintah dan gereja semakin memperkuat kerja sama agar ruang ibadah tetap menjadi tempat paling aman dan damai. Eduard menekankan pentingnya doa sebagai bentuk penguatan spiritual bagi keluarga korban sekaligus sebagai pengharapan agar Tuhan menyentuh hati pelaku kekerasan. Ia pun menyarankan agar umat mengurangi aktivitas luar rumah dalam kondisi yang belum pasti ini.
Ketua panitia pembangunan gereja yang juga Kepala Kampung Air Garam, Yustinus Kuantapo, menambahkan bahwa kedua korban telah bekerja sejak Februari lalu dan merupakan bagian dari sepuluh tukang yang didatangkan khusus dari Jawa Barat. Delapan lainnya telah lebih dulu kembali ke kampung halaman, meninggalkan dua orang terakhir yang kini menjadi korban penembakan. Kejadian itu terjadi usai proses pengecoran bangunan gereja. Saat korban sedang memeriksa tiang dan satu di antaranya bermain ponsel, OPM datang dari arah belakang gereja dan melakukan penembakan.
Di tengah duka yang mendalam, respons pemerintah dan gereja terhadap peristiwa ini justru menunjukkan sinyal pentingnya sinergi dalam menjaga ketertiban dan kemanusiaan di tanah Papua. Pemerintah melalui aparat keamanan telah bertindak cepat untuk mengamankan situasi, sementara pihak gereja memberikan pendekatan spiritual sekaligus merangkul masyarakat untuk tetap tenang dan tidak terpancing oleh suasana mencekam.
Pentingnya kemitraan antara gereja dan pemerintah juga ditegaskan dalam forum nasional seperti Rakernas XIII Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII). Dalam Rakernas tersebut, Ketua Umum PGLII, Pdm. Dr. Robby Robert Repi, menyatakan dukungan penuh terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. PGLII percaya bahwa di bawah kepemimpinan Prabowo, bangsa Indonesia akan terus diarahkan menuju keadilan dan kesejahteraan yang merata. Komitmen tersebut bukan sekadar pernyataan simbolis, melainkan bagian dari orientasi strategis PGLII untuk bersinergi dengan pemerintah dalam memperkuat kebangsaan, memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, serta menjaga harmoni dalam bingkai NKRI.
Dalam Rakernas itu pula, PGLII menyampaikan langkah konkret melalui pembentukan Task Force Papua, sebuah inisiatif untuk memberikan bantuan kemanusiaan sekaligus menyuarakan perdamaian dan kesejahteraan di wilayah yang selama ini masih diliputi konflik. Keputusan ini merupakan bentuk nyata tanggung jawab moral gereja terhadap sesama anak bangsa, terutama mereka yang menjadi korban situasi keamanan yang belum sepenuhnya stabil. PGLII juga menegaskan pentingnya membina generasi muda melalui wadah Sentra Generasi Injili sebagai bentuk investasi jangka panjang dalam mempersiapkan pemimpin masa depan yang berintegritas, peduli, dan menjunjung nilai-nilai kebangsaan.
Tidak hanya itu, keputusan PGLII untuk membangun kantor pusatnya di Ibu Kota Nusantara (IKN) selaras dengan arah kebijakan strategis pemerintah. Ini menunjukkan bahwa gereja tidak hanya hadir dalam dimensi spiritual, tetapi juga terlibat aktif dalam pembangunan nasional. Kesediaan untuk menempatkan simbol kehadiran institusi gereja di pusat pemerintahan baru menunjukkan kepercayaan dan dukungan terhadap visi pemerataan pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah.
Harmonisasi antara gereja dan negara ini tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang sekadar formal. Justru, sinergi seperti inilah yang dapat memperkuat daya tahan bangsa terhadap berbagai ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Ketika aktor kekerasan mencoba menciptakan ketakutan dan perpecahan, solidaritas antara institusi keagamaan dan pemerintah menjadi kekuatan moral yang mampu menjaga keutuhan bangsa. Gereja, melalui berbagai organisasi dan jaringannya, memiliki peran strategis dalam merawat perdamaian dan mendorong masyarakat untuk tidak terjebak dalam siklus kekerasan.
Tindakan-tindakan kekerasan seperti yang terjadi di Air Garam tidak boleh dibiarkan menjadi narasi dominan dari Papua. Pemerintah terus bekerja untuk menghadirkan rasa aman di wilayah-wilayah yang rawan, namun keberhasilan itu membutuhkan partisipasi aktif dari semua pihak. Tidak hanya aparat, tetapi juga tokoh agama, pemuka adat, dan masyarakat luas perlu mengambil bagian dalam menciptakan ekosistem damai.
Dukungan terhadap pemerintah merupakan bentuk partisipasi aktif untuk memperkuat arah pembangunan yang sudah berjalan di jalur tepat. Seperti yang ditekankan PGLII, tidak ada yang dapat berjalan sendiri dalam membangun bangsa. Kolaborasi lintas sektoral adalah kunci untuk mewujudkan keadilan sosial dan ketenteraman yang nyata bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk di wilayah yang selama ini menghadapi tantangan kompleks seperti Papua.
*) Pengamat Sosial dari Papua Pegunungan