Oleh : Arka Dwi Francesco
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia telah berlalu, namun semangatnya masih terpatri dalam ingatan masyarakat. Di tengah suasana penuh nasionalisme tersebut, muncul fenomena pengibaran bendera bajak laut dalam beberapa perayaan kemerdekaan. Bagi banyak pihak, simbol non-negara yang ditampilkan dalam momentum kenegaraan justru dinilai dapat mengganggu nilai kebangsaan dan merendahkan kehormatan Bendera Merah Putih. Fenomena ini pun menimbulkan diskusi serius tentang bagaimana masyarakat menempatkan budaya populer dalam konteks nasionalisme.
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, menyampaikan bahwa pengibaran simbol non-negara dalam peringatan kemerdekaan berpotensi merendahkan martabat Bendera Merah Putih. Ia menekankan bahwa tindakan tersebut bisa dikenai konsekuensi hukum sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera Negara, yang secara tegas melarang penempatan bendera negara bersama lambang lain yang tidak setara kedudukannya.
Sikap pemerintah disini menunjukkan konsistensi dalam menjaga marwah simbol negara agar tidak tergerus oleh budaya lain. Langkah ini bukan sekadar penegakan hukum, melainkan juga upaya menjaga kesakralan simbol kebangsaan yang menjadi pemersatu seluruh rakyat. Dalam konteks sosial, pesan tersebut sangat relevan mengingat derasnya arus globalisasi yang membawa berbagai bentuk ekspresi budaya asing.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menilai bahwa bendera bajak laut secara historis merepresentasikan simbol perlawanan terhadap tatanan hukum. Oleh karena itu, pengibaran bendera tersebut dalam peringatan kemerdekaan tidaklah tepat, sebab berpotensi menimbulkan tafsir seolah bangsa ini merayakan hari kemerdekaan dengan simbol pembangkangan. Ia menegaskan bahwa pemerintah tidak menolak budaya populer, tetapi Bendera Merah Putih harus ditempatkan secara sakral, terlebih pada momen yang berhubungan langsung dengan identitas kebangsaan.
Pandangan ini memberikan pencerahan penting bagi masyarakat. Menghargai budaya populer merupakan hal yang wajar, namun batas-batasnya harus tetap jelas. Kreativitas anak bangsa harus diarahkan untuk melahirkan simbol-simbol baru yang menumbuhkan kebanggaan nasional. Dengan demikian, generasi muda dapat tetap menikmati budaya global tanpa harus mengorbankan jati diri kebangsaan.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Dr. H. Jawade Hafidz, S.H., M.H., menekankan bahwa penggunaan atribut bajak laut sangat tidak tepat. Ia menyatakan bahwa tindakan semacam itu dapat menimbulkan gangguan stabilitas politik karena dapat ditafsirkan sebagai sikap yang meremehkan simbol negara. Dari sudut pandang hukum, etika, dan politik, masyarakat seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat lainnya untuk menjaga wibawa simbol kebangsaan.
Pernyataan ini memberi penekanan lebih lanjut bahwa tanggung jawab menjaga simbol negara adalah milik masyarakat. Dengan menempatkan diri sebagai teladan, masyarakat berperan dalam memperkuat kesadaran kolektif bangsa. Pendapat ini selaras dengan kebutuhan untuk menjaga stabilitas politik dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap institusi negara.
Fenomena bendera bajak laut yang muncul dalam peringatan HUT RI pada dasarnya mencerminkan adanya dinamika sosial antara ruang ekspresi kreatif masyarakat dengan batas-batas penghormatan terhadap simbol negara. Sebagian besar generasi muda yang akrab dengan budaya populer global mungkin tidak bermaksud merendahkan Bendera Merah Putih. Namun tanpa disadari, tindakan itu dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dianggap menurunkan nilai kebangsaan. Oleh karena itu, sikap tegas pemerintah menjadi penting sebagai pengingat sekaligus penegasan agar kebebasan berekspresi tetap berada pada koridor yang benar.
Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini juga menjadi refleksi bagaimana bangsa Indonesia menghadapi tantangan globalisasi budaya. Di satu sisi, masyarakat ingin terhubung dengan tren dunia. Di sisi lain, bangsa ini harus mampu mempertahankan identitasnya. Untuk itu, diperlukan keseimbangan antara keterbukaan dan keteguhan. Pemerintah melalui berbagai kebijakan, termasuk dalam merespons kasus bendera bajak laut, menunjukkan bahwa keterbukaan budaya tidak boleh mengaburkan nilai kebangsaan yang telah diwariskan para pendiri bangsa.
Menjaga Bendera Merah Putih bukan hanya tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang menjaga jati diri bangsa. Simbol ini adalah representasi dari sejarah panjang perjuangan, pengorbanan, dan semangat persatuan. Menghormatinya berarti menghormati darah dan air mata para pahlawan yang berjuang untuk kemerdekaan. Oleh sebab itu, setiap individu Indonesia, baik pejabat maupun rakyat biasa, memiliki kewajiban moral untuk menempatkan bendera negara pada posisi terhormat.
Peringatan HUT RI ke-80 hendaknya menjadi momentum untuk memperkuat kesadaran kebangsaan di tengah derasnya arus budaya global. Kreativitas tetap boleh berkembang, tetapi harus diarahkan ke jalur yang memperkuat nasionalisme. Pemerintah, masyarakat, akademisi, dan generasi muda perlu saling bergandengan tangan menjaga kesakralan simbol negara agar persatuan tetap kokoh. Mari jadikan peringatan kemerdekaan sebagai momentum memperkuat rasa cinta tanah air, menjaga persatuan, serta menyalakan harapan menuju masa depan Indonesia yang lebih kuat, berdaulat, dan bermartabat.
)* Penulis merupakan Pengamat Sosial