Oleh: Aurelia Sutramita)*
Pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bukanlah tanggung jawab satu pihak semata. Kolaborasi yang melibatkan seluruh elemen, baik pemerintah pusat, daerah, dunia usaha, hingga masyarakat menjadi kunci utama dalam menanggulangi ancaman bencana ekologis ini, khususnya di kawasan rawan seperti Sumatera dan Kalimantan.
Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, mengatakan pemerintah telah mengambil langkah tegas dengan mewajibkan 400 perusahaan perkebunan di wilayah Sumatera bagian Selatan untuk menyiapkan diri menghadapi musim kemarau. Dari jumlah tersebut, sebanyak 277 perusahaan berada di Provinsi Sumatera Selatan yang dikenal memiliki tingkat kerawanan karhutla yang tinggi.
Langkah tersebut mencakup kesiapan personel, peralatan, dan pendanaan yang memadai untuk mencegah dan menangani karhutla secara efektif. Hanif Faisol Nurofiq menekankan bahwa bila dalam dua minggu perusahaan tidak menunjukkan laporan kesiapan, maka sanksi administratif berupa paksaan pemerintah akan diberlakukan sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Langkah ini merupakan bentuk keseriusan negara dalam menghadapi ancaman kabut asap yang tak hanya merugikan lingkungan, tapi juga mengganggu kredibilitas Indonesia dalam komitmen global menurunkan emisi. Indonesia, menurut data KLHK, menempati peringkat kedua penyumbang kabut asap global, yang sebagian besar berasal dari kebakaran lahan.
Kebijakan tegas ini bukanlah bentuk intimidasi, melainkan peringatan serius bahwa pengelolaan lingkungan hidup tidak bisa diabaikan. Bahkan, Hanif Faisol Nurofiq tidak menutup kemungkinan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku usaha yang lalai menjalankan kewajibannya dalam pencegahan karhutla.
Kementerian Lingkungan Hidup juga telah mengirimkan surat resmi kepada para pemegang izin konsesi untuk melaporkan secara rinci kesiapan mereka. Evaluasi lapangan pun akan dilakukan secara menyeluruh, dengan melibatkan pemerintah provinsi dan kabupaten, untuk memastikan langkah mitigasi dilakukan secara konkret.
Dalam konteks nasional, Provinsi Riau menjadi perhatian khusus. Hanif Faisol Nurofiq menyebutkan bahwa Riau merupakan indikator utama keberhasilan pengendalian karhutla di Indonesia. Keberhasilan penanganan di provinsi ini akan menjadi tolok ukur bagi daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.
Riau tercatat sebagai wilayah dengan lahan terbakar terbesar sepanjang Januari hingga April 2025, mencapai 600 hektare. Hal ini menunjukkan betapa gentingnya situasi di daerah tersebut dan pentingnya aksi cepat dan terkoordinasi dari seluruh pihak.
Dengan total luas lahan sekitar 8 juta hektare, dan separuhnya merupakan perkebunan sawit yang rentan terbakar, Provinsi Riau membutuhkan perhatian ekstra dalam pencegahan karhutla. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat menjadi elemen penting dalam strategi pengendalian.
Hanif Faisol Nurofiq secara tegas menyerukan optimalisasi peran Masyarakat Peduli Api (MPA) sebagai garda terdepan. Keberadaan mereka sangat penting dalam deteksi dini, pemantauan, hingga pelaporan potensi kebakaran secara langsung di lapangan.
Selain pemberdayaan masyarakat, sinergi antar-instansi menjadi landasan kuat dalam upaya kolaboratif ini. Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta pelaku usaha harus saling terhubung dan bekerja dalam satu kerangka kerja bersama untuk mencegah karhutla secara sistematis.
Langkah tegas juga diperlukan dalam pengawasan areal konsesi. Pemerintah daerah terus melakukan pendekatan represif apabila ditemukan pelanggaran yang menyebabkan karhutla. Hal ini penting agar pengelola lahan bertanggung jawab atas izin yang diberikan negara.
Di Provinsi Kalimantan, aksi kolaboratif juga semakin diperkuat. Ketua Satuan Tugas Informasi Bencana BPBD Kalbar, Daniel, mengatakan bahwa pihaknya telah menyiapkan peralatan dan personel dalam menghadapi potensi kebakaran. Kesiapan ini meliputi pompa, selang, nozzle, kendaraan pemadam, hingga tangki air.
Menurut Daniel, pencegahan karhutla adalah tanggung jawab bersama. Kolaborasi antara pemerintah, TNI, Polri, dunia usaha, hingga relawan dan masyarakat lokal sangat dibutuhkan agar strategi pencegahan berjalan efektif di lapangan.
BPBD Kalimantan Barat juga terus memperkuat koordinasi dengan para stakeholder untuk meningkatkan kewaspadaan. Mereka menjadikan data dari BMKG sebagai dasar dalam membaca pola musim kemarau yang akan datang, serta menentukan waktu-waktu rawan terjadinya kebakaran.
Kondisi cuaca yang belum stabil menjelang musim kemarau awal Juni, membuat pengawasan harus diperketat. Daniel menyatakan bahwa pihaknya terus memantau apakah tahun ini akan tergolong kemarau basah atau kering, dan itu akan menjadi faktor penting dalam menentukan strategi mitigasi ke depan.
Seluruh langkah ini mencerminkan komitmen kuat pemerintah dalam mengubah pendekatan penanganan karhutla dari reaktif menjadi preventif. Pencegahan sejak dini, kolaborasi lintas sektor, dan penegakan hukum yang konsisten menjadi kunci utama dalam membangun sistem pengendalian karhutla yang berkelanjutan.
Pemerintah tidak lagi mengandalkan respons setelah bencana terjadi, melainkan menanamkan kesadaran bahwa karhutla bisa dicegah jika semua pihak menjalankan perannya secara bertanggung jawab. Inilah yang menjadi semangat dari aksi kolaboratif yang kini digaungkan di seluruh wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Dengan semangat gotong royong dan kerja sama yang erat antara pemerintah, masyarakat, dunia usaha, serta aparat penegak hukum, Indonesia memiliki peluang besar untuk keluar dari lingkaran kebakaran hutan yang terjadi setiap tahun. Kunci keberhasilannya terletak pada koordinasi, kepatuhan, dan aksi nyata di lapangan.
)* Penulis adalah mahasiswa Bandung tinggal di Riau