Apotek Desa Perluas Akses Layanan Kesehatan di Daerah Terpencil

Oleh: Olivia Anindita )*

Pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam memperkuat sistem layanan kesehatan hingga ke pelosok dengan meluncurkan inisiatif Apotek Desa. Program ini merupakan upaya nyata menjawab tantangan yang selama ini menghambat masyarakat, khususnya di wilayah terpencil dan terluar, dalam memperoleh akses layanan kesehatan yang layak. Langkah tersebut tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan sebagai refleksi atas pengalaman masa pandemi Covid-19 yang memperlihatkan betapa terbatasnya jangkauan infrastruktur kesehatan nasional.

Kementerian Kesehatan menyadari bahwa keberadaan 10.000 puskesmas di tingkat kecamatan belum cukup untuk melayani seluruh populasi Indonesia yang tersebar di ribuan pulau dan bentang geografis yang kompleks. Ketika wabah melanda, banyak wilayah kesulitan mendapatkan layanan medis dasar, bahkan untuk sekadar konsultasi atau memperoleh obat esensial. Realitas ini menjadi pendorong utama bagi pemerintah untuk mengembangkan skema layanan kesehatan yang lebih mendekatkan diri ke masyarakat desa. Salah satu bentuk konkretnya adalah pengadaan Apotek Desa yang dikembangkan bersama dengan klinik desa dalam satu ekosistem pelayanan.

Dalam pelaksanaannya, program Apotek Desa tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dalam kerangka besar Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Melalui skema ini, unit-unit kesehatan desa tidak hanya hadir sebagai penyedia layanan medis, tetapi juga menjadi bagian dari penguatan ekonomi lokal. Presiden Prabowo Subianto memberi perhatian besar pada konsep pelayanan kesehatan berbasis koperasi, karena dinilai mampu menjawab dua tantangan sekaligus: keterjangkauan layanan dan penguatan kelembagaan masyarakat desa.

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 menjadi landasan hukum pelaksanaan program ini. Melalui regulasi tersebut, pemerintah mengamanatkan pembentukan Apotek Desa di sekitar 80.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia. Penugasan ini tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga memerlukan dukungan sistem, sumber daya manusia, serta sinergi antar sektor. Dalam konteks ini, peran Kementerian Kesehatan menjadi sentral, terutama dalam hal penyediaan tenaga kesehatan yang kompeten.

Pemerintah mengambil pendekatan kolaboratif dengan memanfaatkan 54.000 sarana kesehatan yang telah ada, seperti puskesmas pembantu dan pos kesehatan desa. Dengan memaksimalkan infrastruktur ini, program Apotek Desa bisa dijalankan tanpa harus membangun sistem baru dari nol.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menilai bahwa solusi terbaik bukan dengan menambah regulasi, melainkan dengan optimalisasi fasilitas dan sumber daya manusia yang tersedia. Menurutnya, tenaga kesehatan seperti perawat dan mantri dapat dipadukan dengan tenaga kefarmasian, sehingga apotek desa mampu melayani kebutuhan dasar masyarakat, baik secara kuratif maupun preventif.

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia, Noffendri Roestam, menilai bahwa inisiatif Apotek Desa merupakan gagasan yang cerdas dan strategis. Baginya, kehadiran apotek hingga ke tingkat desa akan mengurangi ketimpangan layanan kesehatan yang selama ini hanya terpusat di kota-kota besar.

Noffendri juga menekankan pentingnya pengelolaan yang baik agar program ini tidak berhenti hanya pada tataran wacana atau simbolik. Pihaknya berkomitmen untuk mendukung dengan menyiapkan tenaga apoteker yang profesional dan mampu menjalankan fungsi pelayanan serta pengelolaan obat sesuai standar.

Sementara itu, Ketua Himpunan Seminat Farmasi Kesehatan Masyarakat dari PP IAI, Maria Ulfah, juga menyuarakan dukungan serupa. Ia menyampaikan bahwa tantangan saat ini bukan hanya soal fasilitas, tetapi juga ketersediaan apoteker di lapangan. Berdasarkan data yang tersedia, dari sekitar 10.300 puskesmas yang ada di Indonesia, baru sekitar 68 persen yang memiliki apoteker. Sisanya masih diisi oleh tenaga vokasi atau tenaga kesehatan lain yang belum memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan farmasi. Oleh karena itu, menurutnya, penguatan SDM menjadi langkah kunci dalam menjamin keberhasilan program ini.

Pemerintah juga telah menyusun skema pembiayaan yang realistis. Dengan alokasi anggaran sebesar Rp700 miliar pada tahun 2025, diperkirakan sekitar 700 unit klinik dan apotek desa akan dapat dibangun dan dioperasikan. Selain itu, sinergi lintas kementerian terus dilakukan. Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi, Kementerian Desa, dan Kementerian Dalam Negeri secara intensif menyusun model bisnis serta regulasi pendukung yang dapat memastikan keberlanjutan program ini dalam jangka panjang.

Presiden Prabowo Subianto, melalui kebijakannya, menunjukkan komitmen untuk membawa perubahan nyata dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Fokus terhadap desa tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi direalisasikan dalam bentuk inisiatif yang menyentuh langsung kebutuhan dasar warga. Keterlibatan Kementerian Kesehatan, serta dukungan penuh dari organisasi profesi seperti IAI, mencerminkan adanya keselarasan visi antara pemerintah pusat dan pemangku kepentingan di sektor kesehatan.

Dengan langkah-langkah terstruktur dan dukungan regulasi yang tepat, Apotek Desa bukan hanya menjadi jawaban atas tantangan akses layanan kesehatan, tetapi juga simbol dari keberpihakan negara terhadap masyarakat di wilayah yang selama ini terpinggirkan. Pemerintah melalui program ini mengubah pendekatan dari reaktif menjadi proaktif, memastikan setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang setara dalam memperoleh layanan kesehatan yang layak. Maka dari itu, Apotek Desa bukan sekadar program layanan, melainkan cerminan semangat pemerataan pembangunan dan keadilan sosial di bidang kesehatan.

)* Penulis adalah kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI)

More From Author

Apotek Desa Menyokong Kemandirian Kesehatan Desa

GKI Mengecam Penembakan Pekerja Gereja di Wamena

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *