Oleh : Zainuddin Al Faruq )*
Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 28 Mei 2025 menegaskan arah kebijakan luar negeri Indonesia yang tetap konsisten dan rasional dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Dalam pernyataan itu, Presiden Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika negara tersebut terlebih dahulu mengakui dan mendukung berdirinya negara Palestina yang merdeka dan berdaulat. Penegasan ini merupakan cerminan dari sikap Indonesia yang berpegang pada prinsip, berdasarkan pertimbangan rasional dan prinsip konstitusional, serta menyelaraskan diplomasi dengan amanat konstitusi.
Sikap Indonesia ini berpijak pada prinsip universal sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Dengan demikian, dukungan terhadap Palestina bukan semata sikap historis atau emosional, tetapi bagian dari komitmen terhadap hukum internasional dan hak asasi manusia. Pendudukan Israel atas tanah Palestina, pemukiman ilegal, blokade terhadap Gaza, serta berbagai tindakan represif lainnya, merupakan bentuk penjajahan modern yang nyata. Maka selama hal-hal ini belum dihentikan, Indonesia tetap memandang tidak layak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
Pernyataan Presiden Prabowo sesungguhnya memberikan kerangka jalan keluar yang realistis, adil, dan berorientasi jangka panjang. Dengan menegaskan bahwa hubungan diplomatik hanya akan terjalin jika Palestina merdeka, Indonesia memperlihatkan pendekatan yang konstruktif. Ini bukan sikap kompromi yang merugikan, tetapi strategi diplomasi yang menempatkan Indonesia dalam posisi netral aktif: tidak memusuhi siapa pun, tetapi menolak ketidakadilan.
Dukungan dari tokoh-tokoh nasional memperkuat legitimasi sikap tersebut. Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, menyatakan bahwa langkah Presiden Prabowo dapat dimengerti. Ia menekankan bahwa bila Israel menghentikan penjajahannya, mengembalikan wilayah-wilayah yang direbut secara paksa, serta membebaskan para tawanan Palestina, maka Indonesia tidak lagi memiliki alasan untuk menutup hubungan diplomatik. Pandangan ini menegaskan bahwa prinsip utama adalah penghentian kolonialisme, bukan kebencian pada negara atau bangsa tertentu.
Senada dengan itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyampaikan bahwa pembukaan hubungan diplomatik hanya mungkin dilakukan jika Israel berhenti menjajah Palestina. Artinya, bukan persoalan ideologis yang menjadi penghalang utama, melainkan persoalan keadilan. Selama Palestina belum diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat, maka tidak ada dasar kuat bagi Indonesia untuk mengubah posisinya terhadap Israel.
Dalam kerangka internasional, pendekatan yang diambil Indonesia berpotensi menjadi kontribusi penting bagi perdamaian Timur Tengah. Saat beberapa negara mengambil pendekatan yang kurang seimbang – antara pengakuan tanpa syarat terhadap Israel atau penolakan total – Indonesia justru menempuh jalan tengah yang berkeadilan. Solusi dua negara (two-state solution) yang disampaikan Presiden Prabowo bukanlah retorika kosong, melainkan strategi jangka panjang yang sudah sejak lama didorong oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam konteks ini, Indonesia menegaskan dukungannya secara konsisten terhadap konsensus global.
Bagi Indonesia, pengakuan terhadap Israel bukan tujuan akhir, melainkan hasil dari pemenuhan hak Palestina. Ini adalah posisi yang visioner, karena tidak membiarkan realpolitik menenggelamkan prinsip-prinsip moral. Justru dengan mengajukan syarat yang jelas dan adil, Indonesia memperlihatkan kepemimpinan moral di tengah dinamika geopolitik dunia yang semakin kompleks.
Pendekatan ini juga memperkuat posisi Indonesia di kancah diplomasi internasional sebagai negara yang mengedepankan penyelesaian damai, bukan konfrontasi. Bagi negara-negara Muslim dan berkembang, sikap Indonesia dapat menjadi model bahwa prinsip kemanusiaan bisa tetap dijaga tanpa kehilangan relevansi dalam diplomasi modern. Ini juga menunjukkan bahwa membela Palestina tidak harus berarti menutup semua kemungkinan dialog atau penyelesaian.
Lebih dari itu, kebijakan luar negeri semacam ini memiliki dimensi strategis dalam memperkuat posisi Indonesia sebagai kekuatan menengah yang menjembatani perbedaan, mendorong perdamaian, dan menjunjung tinggi hukum internasional. Dalam situasi global yang terus berubah, negara-negara yang mampu menjaga keseimbangan antara prinsip dan pragmatisme akan menjadi kekuatan yang diperhitungkan.
Penting pula dicatat bahwa perubahan dalam dinamika hubungan internasional tidak bisa terjadi tanpa adanya kesiapan dari pihak yang selama ini memegang dominasi kekuasaan. Dalam hal ini, bola berada di tangan Israel. Jika benar-benar menginginkan perdamaian dan normalisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara yang selama ini mendukung Palestina, maka langkah pertama dan utama adalah menghentikan penjajahan serta mengakui hak kemerdekaan Palestina secara utuh.
Dengan pendekatan diplomasi bersyarat yang berlandaskan keadilan, Indonesia bukan hanya mempertahankan komitmen terhadap perjuangan Palestina, tetapi juga membuka ruang dialog yang mungkin kelak berujung pada perdamaian sejati. Sikap ini menggabungkan visi kemanusiaan dengan strategi geopolitik yang cermat. Sebuah posisi yang tidak mudah, tetapi sangat relevan di era globalisasi yang sarat ketegangan dan krisis kepercayaan antarnegara.
Dalam konteks itu, arah diplomasi Indonesia layak diapresiasi sebagai upaya untuk tetap berada di sisi keadilan tanpa menutup peluang diplomatik di masa depan. Prinsip dan fleksibilitas harus berjalan beriringan, dan dalam hal ini, Indonesia telah menunjukkan kematangan diplomatiknya.
)* Penulis merupajan Pemerhati Isu Timur Tengah