JAKARTA – Menjelang satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, wajah kebijakan fiskal nasional menunjukkan arah baru yang lebih terukur dan produktif. Pemerintah menempatkan efisiensi anggaran sebagai fondasi utama dalam menjaga stabilitas ekonomi, memastikan setiap rupiah dari kas negara bekerja efektif untuk kepentingan rakyat.
Langkah konkret ini ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran pada 22 Januari 2025, yang kemudian dijabarkan lebih teknis melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 pada 5 Agustus 2025. Pemerintah menargetkan penghematan hingga Rp306,69 triliun terdiri dari Rp256,10 triliun dari belanja kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dari transfer ke daerah.
Namun, perubahan paling menarik terjadi setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dilantik menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025. Di bawah kepemimpinan Purbaya, efisiensi anggaran tidak lagi dipahami semata sebagai pemangkasan atau penghematan, melainkan sebagai upaya memastikan dana publik dibelanjakan tepat sasaran, tepat waktu, dan tidak mengendap tanpa manfaat ekonomi.
“Efisiensi itu bukan soal motong anggaran, tapi memastikan uang negara bekerja sesuai peruntukan dan tidak dikorup,” tegas Purbaya. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemindahan dana saldo anggaran lebih (SAL) sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke perbankan, agar dana tersebut dapat menggerakkan perekonomian nasional secara lebih produktif.
Transformasi makna efisiensi ini turut menginspirasi pemerintah daerah untuk menata kembali struktur pengeluaran mereka. Pemerintah Kota Bandung, misalnya, menghadapi penurunan dana transfer dari pusat hingga Rp600 miliar tahun ini. Namun, Pemkot tetap memastikan pelayanan publik berjalan optimal.
“Kami fokus pada pengeluaran yang benar-benar penting dan berdampak langsung pada masyarakat. Rapat di hotel, konsumsi berlebihan, dan kegiatan seremonial kami pangkas,” kata Wakil Wali Kota Bandung, Erwin.
Kebijakan serupa juga terlihat di Jakarta. Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta, Ade Suherman, menilai efisiensi anggaran harus berjalan seiring dengan peningkatan kualitas pelayanan publik. Ia mencontohkan keberhasilan TransJakarta yang mampu menekan rasio subsidi per pelanggan menjadi Rp9.831 dan meningkatkan pendapatan nontiket hingga Rp218,4 miliar.
“TransJakarta membuktikan efisiensi tidak berarti memangkas layanan. Kualitas tetap terjaga, bahkan meningkat,” ujarnya.
Di bawah pemerintahan Prabowo–Gibran, efisiensi menjadi roh baru dalam tata kelola keuangan negara bukan untuk mengurangi belanja, tetapi memastikan setiap pengeluaran menghasilkan nilai ekonomi dan sosial yang maksimal. Sebuah paradigma baru yang menegaskan, efisiensi adalah kunci menuju ekonomi yang stabil, tangguh, dan berkeadilan.
(*/rls)