Oleh: Syafira Nanda )*
Pemerintah terus memperkuat komitmennya dalam membangun fondasi ekonomi nasional yang tangguh melalui optimalisasi devisa hasil ekspor sumber daya alam. Penegasan ini diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2025 dan PP Nomor 28 Tahun 2025 yang mengatur kewajiban penyimpanan Devisa Hasil Ekspor (DHE) secara penuh di dalam negeri. Kebijakan ini bukan hanya respons atas tekanan ekonomi global, melainkan bagian dari strategi jangka panjang yang diarahkan untuk memperkuat kemandirian finansial negara.
Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, memandang bahwa penyimpanan DHE sebesar 100 persen selama satu tahun akan mendongkrak cadangan devisa secara signifikan. Ia memperkirakan bahwa penerapan kebijakan ini akan menghasilkan tambahan devisa di atas 100 miliar dolar AS jika berjalan penuh selama 12 bulan. Penambahan cadangan ini diyakini dapat menjaga stabilitas nilai tukar dan memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah dinamika global yang tidak menentu. Menurutnya, pengelolaan devisa yang lebih tertata akan membawa Indonesia pada posisi yang lebih kuat secara struktural dan fiskal.
Wakil Ketua DPR RI Bidang Koordinator Ekonomi dan Keuangan, Adies Kadir, menyampaikan bahwa dalam jangka pendek, dampak positif dari kebijakan ini sudah mulai terlihat melalui peningkatan ketahanan ekonomi nasional. Di tengah ketidakpastian global, rupiah termasuk yang paling rentan terhadap tekanan eksternal. Namun, dengan adanya tambahan cadangan dari DHE, nilai tukar rupiah dapat dipertahankan dalam kisaran target APBN 2025, yaitu Rp16.000 per dolar AS. Ini menjadi penghalang terhadap potensi pelemahan nilai tukar yang sebelumnya dikhawatirkan bisa menembus Rp17.000 per dolar AS.
Stabilitas kurs rupiah membawa dampak lanjutan terhadap pengendalian inflasi, terutama yang berasal dari barang-barang impor. Dengan tekanan inflasi yang lebih terkendali, harga-harga dalam negeri menjadi lebih stabil dan daya beli masyarakat tetap terjaga. Situasi ini mendukung target inflasi nasional yang ditetapkan dalam APBN 2025 pada kisaran 2,596 persen. Selain itu, penguatan nilai tukar dan penurunan harga minyak mentah dunia dapat mengurangi beban subsidi energi yang dipatok sebesar Rp394,3 triliun, memberi ruang efisiensi anggaran secara signifikan.
Presiden Prabowo secara tegas mendorong efisiensi anggaran, termasuk melalui penghematan belanja non-kementerian/lembaga sebesar Rp300 triliun. Dana yang dihemat diarahkan ke sektor-sektor strategis guna mendorong produktivitas ekonomi nasional. Pendekatan ini mencerminkan tata kelola fiskal yang disiplin dan bertanggung jawab, sekaligus memberi sinyal bahwa belanja negara harus menghasilkan dampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam perspektif jangka menengah hingga panjang, kebijakan DHE diposisikan sebagai upaya meningkatkan likuiditas di sistem keuangan domestik. Bank Indonesia merespons dengan menyiapkan instrumen baru seperti Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI), Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI), dan FX Swap Valas. Ketiga instrumen ini dirancang untuk memperluas saluran perputaran devisa di dalam negeri agar dapat menjangkau sektor riil. Kehadiran instrumen baru ini akan mendukung pendalaman pasar keuangan nasional dan memperluas basis pembiayaan usaha.
Dengan likuiditas yang semakin terjaga, suku bunga kredit berpeluang menurun, membuka kesempatan lebih luas bagi dunia usaha untuk memperoleh pembiayaan. Situasi ini dapat mendorong pertumbuhan kredit dan investasi secara signifikan, memperkuat momentum pertumbuhan ekonomi. Pemerintah optimistis, jika kebijakan ini dijalankan secara konsisten, maka target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029 sangat mungkin dicapai.
Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai bahwa perubahan kebijakan ini merupakan perbaikan penting dari aturan sebelumnya yang dinilai belum optimal. Ia menyoroti bahwa PP 36 Tahun 2023 hanya mewajibkan penyimpanan 30 persen DHE selama tiga bulan, sehingga tidak memberikan dampak besar terhadap stabilitas ekonomi. Dengan aturan baru, eksportir kini diwajibkan menyimpan seluruh DHE selama 12 bulan di bank nasional, memberikan dorongan nyata terhadap cadangan devisa dan penguatan rupiah.
Andry juga menekankan bahwa kebijakan ini merupakan bentuk ketegasan pemerintah dalam mengendalikan arus devisa. Ia mencatat bahwa praktik penghindaran kewajiban DHE, seperti under-invoicing dan pengalihan dana ke luar negeri, cukup marak dalam sistem sebelumnya. Namun kini, dengan pengawasan yang lebih ketat dan kerangka regulasi yang diperkuat, ruang bagi praktik-praktik tersebut semakin sempit. Pemerintah mengirimkan sinyal bahwa pengelolaan devisa tidak boleh lagi dilakukan secara lepas kendali, melainkan harus menjadi bagian dari strategi kolektif menjaga stabilitas nasional.
Dampak kebijakan ini pun mulai tercermin di pasar keuangan. Indeks saham sektor perbankan mengalami lonjakan pasca pengumuman kebijakan DHE 100 persen. Kenaikan ini mencerminkan optimisme pelaku pasar terhadap kondisi keuangan nasional yang dinilai akan lebih solid dengan arus devisa yang tertahan di dalam negeri. Di sisi lain, peningkatan dana yang tersedia di perbankan membuka ruang lebih besar bagi ekspansi kredit, memperkuat ekosistem pembiayaan nasional.
Pemerintah melalui kebijakan DHE 100 persen tidak sekadar merespons situasi ekonomi global, tetapi membangun struktur ekonomi dalam negeri yang lebih stabil dan mandiri. Dengan menahan devisa lebih lama, memperkuat likuiditas, dan menjaga nilai tukar, Indonesia sedang menata ulang arah kebijakan makroekonomi ke jalur yang lebih berkelanjutan. Presiden Prabowo dan jajaran ekonominya menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh bergantung pada momentum jangka pendek, tetapi harus dibangun dari fondasi dalam negeri yang kokoh dan strategis.
)* Penulis adalah Kontributor Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia