Oleh: Vrenda Situmorang *)
Pemerintah melalui berbagai instansi terkait tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG), khususnya dalam aspek penyajian dan pengawasan bahan baku makanan. Langkah ini ditempuh setelah munculnya laporan insiden keracunan makanan di Kota Bogor, Jawa Barat, yang melibatkan ratusan siswa sebagai penerima manfaat program. Evaluasi difokuskan untuk meningkatkan standar keamanan pangan serta memastikan bahwa seluruh proses distribusi makanan berjalan sesuai ketentuan yang menjamin keselamatan konsumen, terutama anak-anak sekolah.
Badan Gizi Nasional (BGN), sebagai pelaksana utama program, bergerak cepat dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme penyajian dan pengiriman makanan yang dijalankan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Evaluasi ini bukan hanya untuk menambal kelemahan, melainkan juga menjadi momentum untuk memperkuat sistem dan meningkatkan ketahanan program dalam jangka panjang. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyampaikan bahwa kini waktu antara pemrosesan hingga konsumsi akan diperpendek secara signifikan. Artinya, makanan yang dikirimkan harus segera dikonsumsi agar kualitas gizinya tetap terjaga dan tidak memberikan celah bagi kontaminasi.
Temuan laboratorium yang menunjukkan adanya bakteri Escherichia coli dan Salmonella pada bahan makanan seperti telur dan sayuran, menjadi bukti pentingnya pengawasan dari hulu. Makanan yang pada awalnya tidak menunjukkan tanda-tanda kontaminasi ternyata tetap bisa membahayakan jika pengelolaan bahan bakunya tidak sesuai standar. Oleh karena itu, pemerintah berupaya lebih selektif dalam pemilihan bahan, termasuk air bersih dan sumber sayuran yang digunakan. Dalam konteks ini, langkah BGN untuk memperketat pengawasan waktu konsumsi menjadi sangat relevan. Makanan yang disimpan terlalu lama karena terganjal aktivitas sekolah, misalnya, kini harus segera dikonsumsi untuk meminimalisasi risiko.
Lebih jauh, siswa juga diimbau untuk tidak membawa makanan ke rumah. Langkah ini bukan sekadar imbauan normatif, melainkan bentuk tanggung jawab negara dalam membangun budaya konsumsi sehat dan aman. Konsumsi makanan MBG harus dilakukan dalam rentang waktu aman, di bawah pengawasan, dan dalam kondisi lingkungan yang mendukung.
Dari sisi pengawasan mutu pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyampaikan pentingnya pelibatan lebih aktif dalam pengelolaan dapur MBG. Kepala BPOM, Taruna Ikrar, menyebut bahwa BPOM memiliki kapasitas dan pengalaman untuk menilai standar dapur serta bahan baku makanan. Meski selama ini kerja sama dengan BGN sudah disepakati melalui beberapa poin, pelibatan BPOM belum sepenuhnya maksimal, khususnya dalam aspek teknis seperti pengawasan langsung ke dapur penyedia.
Kondisi ini menjadi perhatian tersendiri karena BPOM mencatat telah terjadi 17 kasus KLB terkait MBG di berbagai daerah. Oleh karena itu, sinergi antara BPOM dan BGN sangat penting untuk ditingkatkan. Penguatan koordinasi ini guna memastikan proses dari pemilihan bahan baku, pengolahan, hingga distribusi makanan dilakukan dengan standar tertinggi. Peran BPOM dalam memastikan higienitas dan keamanan pangan harus ditempatkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari pelaksanaan MBG itu sendiri.
Tidak hanya BPOM, Ombudsman juga terlibat aktif dalam memperketat pengawasan. Lembaga ini telah berkoordinasi dengan BGN untuk memperkuat SOP pada tiap lini teknis operasional. Fokus pengawasan tidak hanya pada hasil akhir makanan, tetapi juga pada proses pengadaan bahan, penyimpanan, dan pengelolaan dapur. Selain itu, pemeriksaan dokumen higienitas dan sertifikasi kesehatan terhadap pengelola dapur menjadi bagian penting dari sistem pengendalian mutu yang komprehensif.
Langkah-langkah ini bukan untuk mencari kambing hitam atas insiden keracunan, tetapi untuk mencegah agar kejadian serupa tidak terulang. Pemerintah mengambil pendekatan yang konstruktif dan bertanggung jawab, memperbaiki sistem tanpa menyudutkan pihak manapun. Inilah wujud nyata dari pemerintahan yang sigap, tidak alergi terhadap kritik, dan justru menjadikan insiden sebagai pelajaran berharga untuk pembenahan sistemik.
Komitmen ini juga ditunjukkan melalui upaya menyusun pedoman dan SOP yang lebih ketat, memberikan pelatihan bagi petugas lapangan, serta memperluas keterlibatan pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam keamanan pangan. Transparansi menjadi prinsip yang dijaga agar publik tetap mendapat informasi yang utuh dan akurat tentang pelaksanaan program. Ini penting, agar kepercayaan terhadap program MBG tetap terjaga dan tidak goyah hanya karena satu insiden yang kini tengah ditangani secara serius.
Apa yang dilakukan pemerintah saat ini tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga membangun ekosistem yang mendukung ketahanan gizi nasional. Dengan memperkuat pengawasan bahan baku, mempercepat alur penyajian, dan mengintegrasikan lembaga pengawasan seperti BPOM dan Ombudsman, maka MBG tidak sekadar menjadi program distribusi makanan, melainkan bentuk investasi negara dalam kualitas sumber daya manusia masa depan.
Keseriusan pemerintah harus dilihat sebagai upaya kolektif untuk menghadirkan program publik yang aman, sehat, dan bermartabat. Program MBG bukan hanya tentang memberi makan, tapi juga tentang membentuk masa depan yang lebih kuat dan cerdas. Dengan dukungan semua pihak, program ini akan terus berkembang, lebih baik, dan lebih terpercaya. Pemerintah telah mengambil langkah yang tepat; dan masyarakat layak memberi apresiasi atas tekad tersebut.
*) Penggiat Literasi/Kelompok Perawat Kesehatan Indonesia