Oleh: Nadira Putri )*
Pemerintah bersama DPR terus menguatkan komitmennya untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih modern, responsif, dan selaras dengan perkembangan regulasi nasional. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) oleh DPR dianggap sebagai langkah strategis untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan tantangan sosial, politik, dan teknologi yang berubah sangat cepat dalam empat dekade terakhir.
Dorongan pemerintah ini tidak hanya bertujuan memperbarui norma hukum yang telah berusia lebih dari 40 tahun, tetapi juga memastikan bahwa pengadilan Indonesia mampu memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas yang dituntut masyarakat.
Pandangan serupa datang dari anggota Komisi III DPR RI, Soedeson Tandra, yang menilai bahwa KUHAP lama mengandung berbagai kekurangan baik secara substansial maupun praktis. Ia menyampaikan bahwa aturan yang berlaku sejak 1981 memang telah menjadi fondasi penting bagi sistem peradilan, namun dinamika yang terus berkembang menuntut adanya modernisasi menyeluruh.
Soedeson menekankan bahwa revisi KUHAP seharusnya diarahkan untuk memperkuat prinsip negara hukum yang demokratis dan berkeadilan, karena hukum dan demokrasi saling mendukung dalam memastikan partisipasi rakyat serta menjamin tegaknya keadilan.
Soedeson juga menyoroti sejumlah persoalan klasik seperti potensi penyalahgunaan wewenang, tingginya kasus penyiksaan terhadap tersangka, hingga lemahnya posisi penasihat hukum. Situasi ini menurutnya menjadi bukti bahwa pembaruan KUHAP harus menjamin kesetaraan di hadapan hukum serta memberikan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan.
Soedeson menambahkan bahwa RKUHAP perlu memberi ruang lebih kuat terhadap pemenuhan hak tersangka, saksi, korban, dan aparat penegak hukum sekaligus mendorong proses hukum yang sederhana, transparan, cepat, dan efisien. Ia menilai pembaruan ini akan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan menjadikan hukum sebagai instrumen yang memanusiakan manusia.
Atas dasar itu, Fraksi Golkar menyatakan dukungan terhadap pengesahan RKUHAP dan berharap regulasi baru tersebut benar-benar mencerminkan nilai Pancasila serta mampu mewujudkan keadilan sosial dan kepastian hukum tanpa diskriminasi.
Dukungan serupa datang dari Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin). Sekretaris Jenderal Ikadin, Rivai Kusumanegara, menilai urgensi pengesahan RKUHAP semakin besar karena KUHP baru akan berlaku pada Januari 2026. Ia menilai keberlakuan KUHP baru tanpa padanan hukum acara yang sesuai berpotensi memicu kegaduhan hukum.
Rivai mengingatkan bahwa sejumlah pasal dalam KUHP baru tidak selaras dengan struktur KUHAP lama, sehingga dapat membuat aparat kesulitan menangani perkara penganiayaan, penipuan, penggelapan, dan penadahan. Ia menilai bahwa penanganan hukuman kerja sosial, hukuman tutupan, dan hukuman pengawasan yang baru diperkenalkan dalam KUHP juga akan terhambat jika RKUHAP tidak segera disahkan. Rivai menilai bahwa tanpa hukum acara yang mutakhir, penerapan restorative justice dan pidana korporasi tidak akan efektif.
Dukungan terhadap langkah pemerintah dan DPR juga datang dari Direktur Haidar Alwi Institut, Sandri Rumanama, yang menolak anggapan bahwa RKUHAP akan membuka ruang tindakan represif aparat. Ia menilai bahwa regulasi ini justru baik dan patut didukung, serta menegaskan bahwa selama proses penyusunannya berlangsung, mekanisme legislasi dilakukan secara transparan dan melibatkan banyak pemangku kepentingan. Sandri menyampaikan bahwa lembaganya juga ikut serta dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI, sehingga ia meyakini pembahasan RKUHAP berlangsung secara demokratis dan akuntabel.
Sandri berharap RKUHAP menjadi fondasi modernisasi sistem peradilan pidana yang sejalan dengan implementasi KUHP Nasional pada 2026. Dalam pandangannya, pembaruan tersebut harus memperkuat prinsip hak asasi manusia dan memastikan supremasi hukum berjalan tanpa penyimpangan. Ia juga menilai RKUHAP akan membuka ruang yang lebih kuat bagi advokat dalam menjalankan tugasnya, karena penguatan peran penasihat hukum merupakan bagian penting dari sistem peradilan yang adil. Sandri memandang bahwa setelah pengesahan dilakukan, masyarakat akan melihat wajah baru peradilan pidana yang lebih transparan, berpihak pada keadilan, dan mencerminkan akuntabilitas negara dalam penegakan hukum.
Keseluruhan pandangan ini memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR telah menempatkan RKUHAP sebagai instrumen kunci dalam modernisasi sistem peradilan. Dengan landasan yang kuat, proses legislasi yang terbuka, serta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, masyarakat diimbau untuk menyikapi pembaruan ini secara bijak dan objektif. Pemerintah berharap regulasi baru tersebut menjadi tonggak penting dalam menghadirkan peradilan pidana yang lebih manusiawi, adaptif, dan relevan dengan kebutuhan bangsa.
Pemerintah juga menegaskan bahwa modernisasi hukum acara pidana melalui RKUHAP harus dipahami sebagai bagian dari transformasi besar sistem peradilan nasional. Upaya ini tidak hanya menyangkut penyesuaian regulasi, tetapi juga mengarah pada penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum, serta penerapan teknologi peradilan yang lebih mutakhir.
Pemerintah menilai bahwa tantangan ke depan menuntut adanya sistem yang mampu merespons kejahatan siber, kejahatan lintas negara, serta pola kriminalitas baru yang muncul akibat perkembangan teknologi digital. Oleh karena itu, pembaruan hukum acara dipandang sebagai langkah strategis untuk memastikan bahwa negara tidak tertinggal dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Dengan demikian, pengesahan RKUHAP diharapkan tidak hanya menghasilkan regulasi yang komprehensif, tetapi juga mampu menjadi fondasi kuat bagi terciptanya peradilan yang inklusif dan berorientasi pada pelayanan publik yang lebih baik.
)* Penulis adalah pengamat kebijakan publik
