Oleh: Satriadi Putra )*
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dalam rapat paripurna DPR RI pada 18 November 2025 menandai fase penting dalam pembaruan sistem peradilan pidana nasional. Keputusan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari rangkaian pembahasan panjang di berbagai tingkat legislasi.
Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, sebelumnya telah menegaskan bahwa agenda tersebut sudah dipastikan melalui rapat pimpinan, sekaligus menunjukkan bahwa seluruh mekanisme formal telah dijalankan sesuai ketentuan. Ia menyampaikan bahwa pengambilan keputusan tingkat II dilakukan karena pembahasan pada tingkat I telah rampung dan memperoleh persetujuan bersama, sehingga tidak terdapat hambatan procedural yang menunda proses pengesahan.
Kesepakatan tingkat I itu sendiri dicapai melalui rapat Komisi III DPR RI bersama pemerintah. Rapat dipimpin oleh Habiburokhman dan melibatkan perwakilan pemerintah, termasuk Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Wakil Menteri Sekretaris Negara Bambang Eko Suhariyanto, serta Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej.
Pada rapat tersebut, panitia kerja memaparkan hasil pembahasan revisi KUHAP secara komprehensif. Pemaparan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pandangan seluruh fraksi yang sepakat untuk membawa naskah RUU KUHAP ke tingkat paripurna.
Ketika Habiburokhman meminta konfirmasi akhir mengenai kesiapan semua pihak untuk melanjutkan pembahasan ke tingkat II, seluruh anggota rapat menunjukkan persetujuan bulat, yang menandai kesamaan pandangan antara legislatif dan pemerintah terhadap urgensi RKUHAP.
Pemerintah dan DPR melihat bahwa pembaruan KUHAP memang tidak dapat ditunda. Sistem hukum acara pidana yang berlaku sejak 1981 kini menghadapi tantangan perubahan zaman, perkembangan teknologi, serta dinamika sosial yang jauh lebih kompleks.
RKUHAP hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut melalui penyusunan norma yang lebih adaptif, memberikan kepastian hukum, serta memperkuat perlindungan bagi warga negara dalam proses peradilan. Keseluruhan tahap pembahasannya telah dilaksanakan sesuai prosedur yang diatur undang-undang, sehingga pengesahannya merupakan bentuk kepatuhan institusional terhadap mekanisme legislasi.
Dukungan terhadap RKUHAP tidak hanya datang dari pemerintah dan DPR, tetapi juga dari berbagai elemen masyarakat sipil. Direktur Haidar Alwi Institut, Sandri Rumanama, misalnya, melihat RKUHAP sebagai regulasi yang tidak hanya penting, tetapi juga mendesak untuk segera diberlakukan. Ia menilai bahwa kekhawatiran publik yang mengaitkan penguatan RKUHAP dengan potensi tindakan represif aparat tidak memiliki dasar.
Menurut Haidar, substansi RKUHAP justru memperkuat perlindungan terhadap hak-hak warga, baik dalam kapasitas sebagai saksi, tersangka, maupun korban. Ia juga menjelaskan bahwa proses penyusunannya berlangsung secara partisipatif karena melibatkan berbagai kelompok masyarakat dalam forum seperti Rapat Dengar Pendapat, sehingga penyusunan norma dalam RKUHAP tidak dilakukan secara sepihak.
Sandri juga menekankan bahwa legislasi RKUHAP merupakan langkah strategis untuk memperkuat harmonisasi antara KUHAP baru dan KUHP Nasional yang akan berlaku penuh pada 2026. Dua instrumen hukum tersebut harus berjalan beriringan agar proses penegakan hukum dapat berlangsung efektif dan selaras. Karena itu, pengesahan RKUHAP menjadi bagian integral dari pembaruan hukum nasional yang lebih besar, yang menempatkan Indonesia pada jalur modernisasi sistem peradilan.
Dalam kerangka tersebut, Sandri percaya bahwa regulasi ini akan menghadirkan wajah baru sistem peradilan pidana Indonesia, khususnya dalam aspek transparansi dan akuntabilitas. Ia menilai bahwa penguatan peran advokat merupakan salah satu komponen penting dalam RKUHAP yang dapat meningkatkan keseimbangan dalam proses hukum.
Pemberian ruang regulatif yang lebih jelas bagi advokat dinilainya sebagai langkah maju untuk memperkuat kualitas pembelaan hukum. Dengan adanya kepastian mengenai hak pendampingan yang lebih rinci, baik bagi tersangka, saksi, maupun korban, proses hukum diharapkan berjalan lebih profesional, setara, dan bebas dari intimidasi.
Dukungan yang diberikan Sandri terhadap RKUHAP juga berakar pada harapan bahwa regulasi ini dapat memperbaiki kualitas penegakan hukum secara menyeluruh. Ia melihat bahwa aspek-aspek seperti efisiensi proses peradilan, penguatan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta profesionalisme aparat penegak hukum membutuhkan kerangka hukum yang lebih modern dan detail.
RKUHAP, menurut Sandri, telah memberikan landasan normatif untuk memastikan hal-hal tersebut berjalan dengan baik. Selain itu, keterlibatan publik dalam proses penyusunannya merupakan nilai tambah yang membuktikan bahwa RKUHAP merupakan hasil konsensus dalam kerangka sistem demokrasi.
Sebagai langkah akhir sebelum implementasi, pemerintah menilai bahwa dukungan masyarakat sangat diperlukan agar pengesahan RKUHAP dapat berjalan tanpa hambatan. Implementasi undang-undang baru membutuhkan kondisi sosial yang stabil dan konstruktif, sehingga suasana kondusif menjadi faktor penting dalam memastikan pembaruan hukum ini dapat diterapkan secara maksimal.
Oleh karena itu, pemerintah mengimbau masyarakat untuk tetap tenang, mencermati informasi secara objektif, serta tidak terpengaruh narasi yang berpotensi memicu mispersepsi terhadap regulasi ini.
Melalui pengesahan RKUHAP, Indonesia berada pada momentum penting untuk memperkuat sistem hukum acara pidana yang lebih modern, humanis, dan responsif terhadap kebutuhan zaman. Pemerintah menilai bahwa langkah ini bukan sekadar pembaruan regulasi, tetapi juga wujud komitmen negara dalam memastikan proses hukum berjalan lebih adil, transparan, dan mengutamakan kepentingan publik.
Dengan dukungan masyarakat yang tetap menjaga kondusivitas, implementasi RKUHAP diharapkan dapat memberikan kontribusi besar bagi peningkatan kualitas peradilan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.
*) Pengamat hukum
