Oleh: Agra Hermawan )*
Penghormatan negara terhadap Presiden ke-2 Republik Indonesia, Jenderal Besar H. M. Soeharto, melalui proses pengajuan gelar Pahlawan Nasional kembali menegaskan bahwa bangsa ini semakin dewasa dalam menghargai perjalanan sejarahnya. Langkah ini bukan sekadar keputusan administratif, tetapi bagian dari proses panjang untuk memberikan tempat yang layak bagi tokoh yang telah mengabdikan hidupnya kepada pembangunan Indonesia. Pemerintah menunjukkan komitmen kuat untuk menilai warisan kepemimpinan dengan cara yang objektif, berimbang, dan berlandaskan kepentingan bangsa.
Ketua Umum Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP), Willem Frans Ansanay, memandang dukungan terhadap pengajuan gelar tersebut sebagai bentuk kematangan kolektif dalam memahami sejarah. Ia menilai bahwa bangsa yang besar tidak boleh terjebak pada perdebatan yang menguras energi, tetapi harus mampu menilai tokohnya secara menyeluruh.
Dalam pandangan Bara JP, Soeharto telah memberikan fondasi kuat bagi pembangunan Indonesia, baik pada sektor ekonomi maupun stabilitas nasional. Kontribusi besar ini menjadi alasan utama mengapa penghormatan negara dianggap tepat dan pantas diberikan.
Bara JP juga menyoroti keberhasilan Soeharto dalam menyatukan wilayah-wilayah Nusantara melalui pembangunan infrastruktur skala besar yang membuka konektivitas dan mempercepat pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah. Keberhasilan menjaga stabilitas politik dalam waktu panjang juga dinilai menjadi faktor penting yang memungkinkan pemerintah menjalankan program pembangunan secara konsisten.
Di masa kepemimpinan Soeharto pula, Indonesia pernah mencapai swasembada beras yang menjadi tonggak ketahanan pangan nasional. Semua capaian itu dianggap sebagai warisan monumental yang memberikan manfaat bagi rakyat hingga saat ini.
Dari perspektif parlemen, anggota DPR RI, Danang Wicaksana Sulistya, memberikan pandangan yang selaras. Ia menilai bahwa penghormatan kepada Soeharto maupun Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid merupakan bentuk keadilan sejarah. Baginya, menilai masa lalu harus dilakukan dengan pikiran jernih dan kemampuan melihat kontribusi nyata, bukan dipengaruhi perbedaan pandangan politik.
Danang juga menekankan bahwa kedua tokoh tersebut memiliki peran besar dalam kemajuan Indonesia, sehingga layak dihargai dalam kerangka yang objektif. Sudut pandang ini memperkuat bahwa proses penetapan gelar bukan sekadar keputusan simbolik, tetapi bentuk penghormatan negara kepada para pemimpin yang telah menjalankan amanah besar.
Pandangan serupa hadir dari kalangan pesantren melalui Pengasuh Pondok Pesantren Darus Syifa YASPIDA Sukabumi, Kyai E. S. Mubarok. Ia mengingatkan bahwa tidak ada pemimpin yang sempurna, namun dedikasi Soeharto dalam menjaga stabilitas, membangun ekonomi, dan memperkuat kehidupan umat tidak dapat dihapus dari lembar sejarah bangsa.
Mubarok melihat bahwa Soeharto bukan hanya bekerja dalam aspek pemerintahan, tetapi juga memberikan ruang luas bagi berkembangnya dakwah Islam dan pendidikan keagamaan. Baginya, kontribusi seperti ini tidak hanya bernilai bagi masyarakat saat itu, tetapi juga menjadi pondasi moral dan sosial bagi generasi penerus.
Mubarok juga menilai bahwa kepemimpinan Soeharto mencerminkan nilai-nilai dasar Islam tentang pentingnya menjaga persatuan, ketertiban, dan kemaslahatan bersama. Ia melihat bahwa kebijakan Soeharto dalam memperkuat lembaga keagamaan telah memberikan manfaat yang masih dirasakan hingga kini. Dengan cara pandang tersebut, ia mendorong generasi muda, termasuk para santri, untuk mengambil pelajaran dari kerja keras dan disiplin Soeharto dalam membangun negara.
Dalam konteks nasional, langkah pemerintah mengakui warisan Soeharto menunjukkan upaya serius untuk menyatukan kembali pandangan masyarakat terhadap sejarah bangsa. Penghormatan negara bukan berarti menutup mata terhadap dinamika masa lalu, tetapi menegaskan bahwa penilaian sejarah harus ditempatkan dalam konteks pembangunan jangka panjang. Pemerintah memberikan teladan bahwa objektivitas adalah fondasi utama dalam memahami perjalanan negara, sekaligus membuka ruang lebih luas agar generasi muda mempelajari sejarah secara adil dan komprehensif.
Proses pengajuan gelar ini juga memberi harapan baru dalam narasi sejarah Indonesia, bahwa bangsa ini mampu melampaui perdebatan berkepanjangan dan memilih untuk menghargai kontribusi para pemimpinnya. Semangat itu sejalan dengan prinsip menjaga martabat leluhur, di mana jasa para pendahulu dihormati sebagai bagian dari identitas bangsa. Melalui penghormatan negara kepada Soeharto, pemerintah menegaskan bahwa pembangunan nasional selalu berdiri di atas pondasi yang dibangun generasi sebelumnya.
Keseluruhan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat—baik organisasi relawan, tokoh legislatif, maupun pemimpin pesantren—menunjukkan bahwa langkah ini diterima sebagai bagian penting dari perjalanan bangsa menuju rekonsiliasi sejarah. Pemerintah hadir sebagai penghubung antara masa lalu dan masa depan, memastikan bahwa setiap kontribusi besar diberi tempat terhormat sesuai nilai-nilai kebangsaan.
Dengan demikian, penghormatan negara kepada Soeharto bukan hanya pengakuan simbolik, tetapi juga penguatan narasi bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghargai pengabdian dan menempatkan sejarah sebagai bagian penting dari pijakan masa depan. Langkah ini menghadirkan harapan baru, bahwa pemahaman sejarah yang matang akan membawa bangsa lebih bersatu, lebih kuat, dan lebih siap menghadapi tantangan zaman.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi institute
